download file word nya
disini
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji dan
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan kekuatan
dan keteguhan hati kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Sholawat
beserta salam semoga senantiasa tercurah limpahan kepada nabi Muhammad saw.
yang menjadi tauladan para umat manusia yang merindukan keindahan syurga.
Kami menulis makalah ini bertujuan
untuk mempelajari dan mengetahui ilmu tentang Sejarah Peradaban Islam yang diberikan oleh guru mengenai Dinasti
Bani Umayyah. Selain bertujuan untuk memenuhi tugas, tujuan penulis
selanjutnya adalah untuk mengetahui proses pendirian bani Umayah, pola
pemerintahan Bani Umayah, Pola pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz, Ekspansi
wilayah, dan Peradaban Islam Pada masa Dinasti Bni Umayyah.
Dalam penyelesaian makalah ini,
penulis banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan kurangnya ilmu
pengtahuan. Namun, berkat kerjasama yang solid dan kesungguhan dalam
menyelesaikan makalah ini, akhirnya dapat diselesaikan dengan baik.
Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya tidak seberapa yang
masih perlu belajar dalam penulisan makalah, bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
positif demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi, serta berdayaguna di
masa yang akan datang.
Besar harapan, mudah-mudahan makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat
dan maslahat bagi semua orang.
Wasalamu'alaikum Wr.Wb
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib
mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola
kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan
Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa
berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang
sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang
cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan
kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang
dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah
dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti
sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama
yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini
dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi
Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali
dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.[1][1]
Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan
keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang membangkan dari Ali) membunuh
khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan,
namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya
kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan
menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa
pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam.
Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan am
jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu
kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi
kerajaan.
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan
babak baru dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan
sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan
dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Ada pun
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Pendirian Dinasti Bani Umayyah
2.
Pola Pemerintahan Dinasti bani Umayyah
3.
Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
4.
Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah
5.
Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendirian
Dinasti Bani Umayyah
1.1 Asal Mula
Dinasti Bani Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan
Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh
tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah
Utsman bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya
sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para
shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi
shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman
bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali
bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut
membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para
shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia
(bai’at) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan
ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain,
Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah
keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat
pendukung dari Kuffah[2][2] ternyata
ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi
Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang ketika pada masa
Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali
adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu
dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman
yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan
dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang
berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di
Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua
kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin
Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1
Shafar tahun 37 H/657 M[3][3]. Muawiyah
tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian
khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah,
Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan
ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah
Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak
kepemimpinan tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan
kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali
bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah
Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi
Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil
menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan
sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti
Kuffah, Bashra[4][4] dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi
Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan
tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah
bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan
Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman
bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah.
Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang
lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi
Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk
keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib
berada di balik kasus pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang
tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan
dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang
mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang
patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari
keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun
di antara mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba
memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda
pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di
daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk
adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di
anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir.
Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka
menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para
pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana
yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin
Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas
permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan
posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin
Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat
resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan
kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes
dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka
juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi
dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera
menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh khalifah Utsman bin Affan semakin
rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa
yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk
kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat
mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti
semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai
gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru
ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah
Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan
pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di
sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak
sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat
peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian
mereka.
1.2 Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib
pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661
M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid
Kufah, oleh kelompok khawarij[5][5] yaitu
Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi
kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena
itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib
melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi
khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan
dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada
sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu.
Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian
diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di
hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan
dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu
Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya
sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama
mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali
tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan
persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk mempengaruhi massa
untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi
permasalahan politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi
oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai
dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada
bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan
Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih
satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian
kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak
mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin
Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali
mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan
syarat antaralain:
- Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya
untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
- Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan
terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
- Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan
daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
- Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah
kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk
melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
- Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari
penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan
khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan,
Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin
Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah
sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan
mengutus orang-orang kepercayaannya
seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini,
Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda
tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui
bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan
sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas
kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah
dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah
bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya
dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan
Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran
Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali
kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin
dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil
meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi
dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan
pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya
dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan
tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti
baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya
dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa
peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang
menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas
“demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka.
Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari
Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.[6][6]
Namun perlawanan terhadap bani
Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin
Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah
dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat islam
Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah,
tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan
dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.[7][7]
B. Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup
mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan.
Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka
aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku
akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya
dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).[8][8]
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn
Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang
negarawan yang mampu membangun peradaban
besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu
bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang
pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar
biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha
dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya
dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan
pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa
sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik
yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung
oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu
kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah
diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan
atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika
Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia
memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi
baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut[9][9]. Dia
menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh
Allah.[10][10]
Karena proses berdirinya
pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya
dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan
mengambil alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya,
terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat
mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan
khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya
dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk
putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin
Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa
Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak,
hal ini terjadi karena Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem
kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan
kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran
bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang pernah terjadi
pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan
Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih
pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani
Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia
(bai’at) dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa
seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran
permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem
pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain
misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin,
Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara
memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan
Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan
keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz
(717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang
berkuasa:
- Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
- Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
- Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
- Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
- Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
- Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
- Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
- Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
- Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
- Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
- Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
- Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
- Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
- Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)[11][11]
C. Masa
Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra
saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar khalifah kelima
khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat
menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup
dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun
setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah total menjadi seorang raja yang
sangat sederhana, adil dan jujur.[12][12] Karena
kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga
disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif
singkat, yaitu sekitar tiga tahunan, namun banyak perubahan yang ia lakukan.
Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk
kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja
dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif,
membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga
melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga pada jamannya tidak ada
lagi kemiskinan.[13][13]
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada
perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan
dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Dia juga memberi
kebebasan kepada penganut agama lain sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya. Pajak diperingan,kedudukan mawali
disejajarkan dengan muslim Arab.
Umar mangkat dari jabatannya pada
tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan
bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding
terbalik dengan karakter kepemimpinannya.
D.
Ekspansi Wilayah Dinasti Bani
Umayyah
Ekspansi yang terhenti pada masa
khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman
Muawiyah,Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai
daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan
lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium,
Konstantinopel.ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan
oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan
dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand.
Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan
daerah Punjab sampai ke Maltan.[14][14]
Ekspansi ke barat secara
besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan
Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa
hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh
tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah
barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko
dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat
yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat
yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol
dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi
selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul
kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol
yang baru setelah jatuhnya Kordova[15][15]. Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan
dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama
menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan
dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh
Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari
sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii
terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah
tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di
zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke
beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah
sangat luas. Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria,
Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan,
daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia
Tengah (Nasution, 1985:62).
E. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Dinasti Umayyah telah mampu
membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial,
politik, ekonomi dan teknologi. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa
kekuasaan Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:
·
Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos
dan tempat-tempat dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di
sepanjang jalan.
·
Menertibkan angkatan bersenjata.
·
Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata
uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam.
Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.
·
Jabatan khusus bagi seorang Hakim ( Qodli) menjadi
profesi sendiri .
·
Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan
pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya
diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan
keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
·
Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua
personil yang terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara.
·
Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu
daerah dengan daerah lainnya.
·
Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan,
dan masjid-masjid yang megah.
·
Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah,
bayan, badi’, Isti’arah dan sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya
kepentingan orang-orang Luar Arab (Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber
Islam (Al-qur’an dan Al-sunnah).
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari penjelasan–penjelasan yang telah disebutkan, maka
dapat kita ambil beberapa kesimpulan. Proses terbentuknya kekhalifahan Bani
Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman
pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman
bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri).
Setelah wafatnya Utsman bin Afan maka masyarakat Madinah mengangkat sahabat Ali
bin Abi Thalib sebagai khalifah yang baru. Dan masyrakat melakukan sumpah setia
( bai’at ) terhadap Ali pada tanggal 17 Juni 656 M / 18 Djulhijah 35 H.
Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi
Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa
kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil
dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah
khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di
Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan perundingan dan
perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan pada masa itu
disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari
kerangka pemerintahan Persia dan Bizantium, dimana ia menghapus sistem
tradisional yang cenderung pada kesukuan. Pemilihan khalifah dilakukan dengan
sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika
menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada
tahun 679 M.
Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti
ini mencapai banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang
mencapai wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan,
pembagian wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang administrasi
pemerintahan dengan pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan dan percetakan
uang, kemajuan militer yang terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut,
organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni dan sastra, bidang
seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah
disebabkan oleh banyak faktor, dinataranya adalah: perebutan kekuasaan antara
keluarga kerajaan, konflik berkepanjagan dengan golongan oposisi Syi’ah dan
Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku Arab Selatan, ketidak
cakapan para khalifah dalam memimpin pemerintahan dan kecenderungan mereka yang
hidup mewah, penggulingan oleh Bani Abbas yang didukung penuh oleh Bani Hasyim,
kaum Syi’ah, dan golongan Mawali.
B. SARAN
Demikianlah isi dari makalah kami, yang menurut
kami telah kami susun secara sistematis
agar pembaca mudah untuk memahaminya. Berbicara mengenai sejarah, maka sejarah
merupakan ilmu yang tidak akan pernah ada habisnya. Ingatlah, orang yang cerdas
adalah orang yang belajar dari sejarah.
Sering kali kita lupa bahwa “meskipun” berkisah
mengenai masa lampau, tapi sejarah begitu penting bagi perjalanan suatu bangsa.
Melalui sejarah, kita belajar untuk menghargai perjuangan para pendahulu kita,
belajar menghargai tetes darah dan keringat mereka untuk apa yang kita nikmati
saat ini. Lewat sejarah kita juga belajar dari pengalaman masa lalu, dan
menjadikannya sebagai modal berharga untuk melangkah di masa depan
Islam merupakan agama yang besar dengan perjalanan
sejarah yang panjang. maka dari itu, marilah kita menggali lebih jauh lagi
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sejarah Islamiah. Demi menguatkan keteguhan dan
rasa kebanggaan hati kita terhadap agama Islam yang kita peluk ini
Kufah merupakan
sebuah kota di Iraq. terletak
10 km di timur laut Najaf dan 170 km
di selatan Bagdad.
Diperkirakan kota ini mempunyai 110.000 penduduk pada 2003. (sumber : Wikipedia
bahasa Indonesia), pada tanggal 3 Oktober 2012, pukul 15:29
Bashra adalah kota terbesar kedua di Irak, terletak sekitar 545 km dari Bagdad. Penduduknya berjumlah 2.016.217 jiwa (per 1
Januari 2005),(sumber : Wikipedia bahasa Indonesia), pada tanggal 1 oktober
2012, pukul 14.49
Khawārij (baca Khowaarij,
secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang
mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada
pertengahan abad
ke-7, terpusat
di daerah yang kini ada di Irak selatan,
dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah, (sumber:
Wikipedia bahasa Indonesia), pada tnggal 29 September 2012, pukul 14.30
Badri
yatim, “Sejarah Peradaban Islam,Dirasah
islamiyah II”, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001, hlm. 43
Badri yatim, op.cit., hlm.45
Philip
K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan
dari The History of Arabs; From The Earliest Times
to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi (Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. Ke-1, hlm..257.
Badri yatim,
“Sejarah Peradaban Islam,Dirasah
islamiyah II”, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001, hlm. 42
Abu
A’la al-maududi, Khalifah dan Kerajaan,
op.cit, hlm.42
Istian
Aby Bakar, Sejarah Peradaban Islam untuk
perguruan tinggi islam dan umum,UIN malang pres,2008, Cet-1, hlm.49
Al-Usairy,
Sejarah Islam, hlm. 204
Badri Yatim,
op.cit.,hlm. 43